Saffarudin Soroti Dugaan Pelanggaran HAM dalam Kasus Mantan Pemain Sirkus OCI
_dan_Rapat_Dengar_Pendapat_Um20250422081359.jpeg)
Anggota Komisi III DPR RI Saffarudin, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Senin (21/4/2025). Foto: Dep/vel
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Saffarudin menyoroti sejumlah kejadian yang mengindikasikan adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serta tindak pidana terhadap para mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) yang menjadi korban dugaan penganiayaan.
“Hal itu perlu ditindaklanjuti secara serius secara hukum,” jelasnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III bersama sejumlah pihak yang terkait dengan kasus tersebut di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Senin (21/4/2025).
Ia menyoroti kesaksian para korban, di mana disebutkan pernah terjadi insiden jatuh dari ketinggian 15 meter, ada yang mengalami keseleo, bahkan ada yang sampai patah tulang, namun hanya diberikan pengobatan seadanya tanpa dibawa ke rumah sakit. Ia mempertanyakan kebenaran kejadian tersebut kepada pihak sirkus maupun para korban, sekaligus menambahkan bahwa ada korban yang mengalami kelumpuhan.
Ia menyebutkan bahwa Komnas HAM telah memberikan rekomendasi yang menyatakan adanya pelanggaran HAM dalam kasus ini. Menanggapi hal tersebut, Saffarudin meminta penjelasan dari pihak Polda Jawa Barat, khususnya Direktorat Reserse Kriminal Umum, terkait langkah-langkah konkret yang telah diambil dalam menangani kasus tersebut.
“Ketika terjadi pelanggaran HAM ataupun ini terjadi tindak pidana dari pihak Polda Jawa Barat Kami mohon penjelasan ini apa langkah-langkah yang sudah diambil oleh Polda Jawa Barat direskrim umum, apakah sudah ada langkah-langkah konkrit yang dilakukan oleh Polda Jawa Barat terhadap yang dianggap pelanggaran HAM atau terjadi tindak pidana di sini,” ujar Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Menurutnya, jatuhnya seseorang dari ketinggian serta kelalaian dalam penanganan medis bisa menjadi indikasi terjadinya tindak pidana. Ia menekankan pentingnya keseriusan aparat dalam menindaklanjuti dugaan pelanggaran tersebut, terlebih lagi bila menyangkut hak-hak anak.
Lebih lanjut, Saffarudin menyoroti adanya eksploitasi terhadap anak-anak dalam sirkus ini. Ia mempertanyakan legalitas praktik tersebut, mengingat pada awalnya anak-anak tersebut dijanjikan akan disekolahkan ke luar negeri, namun justru dilatih menjadi pemain sirkus. Ia menyatakan bahwa kondisi ini menunjukkan adanya unsur penipuan, yang kemudian memicu terjadinya berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak.
“Kemudian masalah anak-anak ini itu kan eksploitasi terhadap anak-anak, kenapa memang boleh apa enggak dilakukan itu? karena niat awalnya hanya mau disekolahkan ke luar negeri, malah dilatih jadi sirkus. Iadi seolah-olah ada penipuan di sini sehingga terjadilah pelanggaran-pelanggaran,” pungkasnya. (gal/rdn)